Kumpulan Puisi Cak Nun Terbaru
Puisi Cak Nun Terbaru - Emha Ainun Najib atau biasa dipanggil Cak Nun merupakan seorang penyair, seniman, budayawan dan pemikir yang berasal dari Indonesia. Semua karya beliau dituangkan melalui buku-buku yang ditulisnya. Cak Nun lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 sekarang berumur 65 tahun yang merupakan anak keempat dari 15 bersaudara.
Selain menjadi seniman beliau juga seorang penulis buku yang berisi kritikan sosial dan kehidupan yang sering terjadi. Tak hanya itu Cak Nun juga seorang pendakwah yang menyebarkan nilai niai islam dari pelosok negeri hingga luar negeri. Beliau sering melakukan dakwah menyebarkan agama islam. Walaupun begitu Cak Nun tidak bersedia jika dipanggil ustad atau kyai.
Nah, bagi kalian yang sedang mencari puisi karya Cak Nun. Disini saya sudah menyiapkannya secara lengkap. Berikut adalah 43 kumpulan puisi Karya Emha Ainun Najib.
Puisi Cak Nun Terbaru
IKRARoleh : (Cak Nun)Di dalam sinar-Mu Segala soal dan wajah duniaTak menyebabkan apa-apaAku sendirilah yang menggerakkan lakuAtas nama-Mu Kuambil siakp, total dan tuntas maka getarankuAdalah getaran-Mu lenyap segala dimensi baik dan buruk, kuat dan lemahKeutuhan yang adaTerpelihara dalam pasrah dan setiaMenangis dalam tertawa Bersedih dalam gembiraAtau sebaliknya tak ada kekaguman, kebanggaan, segala belengguMulus dalam nilai satuKesadaran yang lebih tinggiMengatasi pikiran dan emosi menetaplah, berbahagialahDemi para tetangga tetapi di dalam kamu kosongIalah wujud yang tak terucapkan, tak tertuliskanKugenggam kamu Kau genggam akuJangan sentuh apapunYang menyebabkan nodaUntuk tidak melepaskan, menggenggam lainnyaBerangkat ulang jengkal pertama
Puisi Ke 5 : Kita Memasuki Pasar Riba
(Emha Ainun Najib) 1987
Kita pasar riba
Medan perang keserakahan
Seperti ikan dalam air tenggelam
Tak bisa ambil jarak
Tak tahu langit
Ke kiri dosa ke kanan dusta
Bernapas air
Makan minum air
Darah riba mengalir
Kita masuki pasar riba
Menjual diri dan Tuhan
Untuk membeli hidup yang picisan
Telanjur jadi uang recehan
Dari putaran riba politik dan ekonomi
Sistem yang membunuh sebelum mati
Siapakah kita ?
Wajah tak menentu jenisnya
Tiap saat berganti nama
Tegantung kepentingannya apa
Tergantung rugi atu laba
Kita pilih kepada siapa tertawa
KETIKA ENGKAU BERSEMBAHYANGOleh : (Cak Nun)Ketika engkau bersembahyangOleh takbirmu pintu langit terkuakkanPartikel udara dan ruang hampa bergetarBersama-sama mengucapkan allahu akbarBacaan Al-Fatihah dan surahMembuat kegelapan terbuka matanyaSetiap doa dan pernyataan pasrahMembentangkan jembatan cahayaTegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumiRuku’ lam badanmu memandangi asal-usul diriKemudian mim sujudmu menangisDi dalam cinta Allah hati gerimisSujud adalah satu-satunya hakekat hidupKarena perjalanan hanya untuk tua dan redupIlmu dan peradaban takkan sampaiKepada asal mula setiap jiwa kembaliMaka sembahyang adalah kehidupan ini sendiriPergi sejauh-jauhnya agar sampai kembaliBadan di peras jiwa dipompa tak terkira-kiraKalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannyaSembahyang di atas sajadah cahayaMelangkah perlahan-lahan ke rumah rahasiaRumah yang tak ada ruang tak ada waktunyaYang tak bisa dikisahkan kepada siapapunOleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajahPancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisikaHatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karangDadamu mencakrawala, seluas ‘arasy sembilan puluh sembilan1987
Kudekap Kusayang-Sayang
(Emha Ainun Najib) Yogyakarta, 1994, halaman 7 Republika, 24 Januari 1999
Kepadamu kekasih kupersembahkan segala api keperihan
di dadaku ini demi cintaku kepada semua manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan
diri dalam hidup demi mempertahankan kemesraan rahasia,
yang teramat menyakitkan ini, denganmu
Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah
persemayaman dalam jiwa remuk redam hamba-hambamu
Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang, dan ketika
mereka tancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah dari
mereka sendiri, sehingga bersegera aku mengusapnya,
kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang-sayang,
kupeluk,
kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan
lagi pisau ke punggungku, sehingga mengucur lagi darah
batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya,
kusumpal,
kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku, kudekap,
kusayang-sayang.
DOA SEHELAI DAUN KERINGJanganku suaraku, ya ‘AzizSedangkan firmanMupun diabaikanJangankan ucapanku, ya QawiySedangkan ayatMupun disepelekanJangankan cintaku, ya Dzul QuwwahSedangkan kasih sayangMupun dibuangJangankan sapaanku, ya MatinSedangkan solusi tawaranMupun diremehkanBetapa naifnya harapanku untuk diterima oleh merekaSedangkan jasa penciptaanMupun dihapusBetapa lucunya dambaanku untuk didengarkan oleh merekaSedangkan kitabMu diingkari oleh seribu peradabanBetapa tidak wajar aku merasa berhak untuk mereka hormatiSedangkan rahman rahimMu diingat hanya sangat sesekaliBetapa tak masuk akal keinginanku untuk tak mereka sakitiSedangkan kekasihMu Muhammad dilempar batuSedangkan IbrahimMu dibakarSedangkan YunusMu dicampakkan ke lautSedangkan NuhMu dibiarkan kesepianAkan tetapi wahai Qadir Muqtadir Wahai Jabbar MutakabbirEngkau Maha Agung dan aku kerdilEngkau Maha Dahsyat dan aku picisanEngkau Maha Kuat dan aku lemahEngkau Maha Kaya dan aku papaEngkau Maha Suci dan aku kumuhEngkau Maha Tinggi dan aku rendah serendah-rendahnyaAkan tetapi wahai Qahir wahai QahharRasul kekasihMu ma’shum dan aku bergelimang hawa’Nabi utusanmu terpelihara sedangkan aku terjerembab-jerembabWahai Mannan wahai KarimWahai Fattah wahai HalimAku setitik debu namun bersujud kepadaMuAku sehelai daun kering namun bertasbih kepadaMuAku budak yang kesepian namun yakin pada kasih sayang dan pembelaanMuEmha Ainun Nadjib Jakarta 11 Pebruari 1999
Puisi Ke 3 : Dari Bentangan Langit
(Emha Ainun Najib) Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO, 1997
Dari bentangan langit yang semu
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu, Ia, kemarau itu
dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.
SEPENGGAL PUISI CAK NUNOleh : (Cak Nun)Sayang sayang kita tak tau kemana pergiTak sanggup kita dengarkan suara yang sejatiLangkah kita mengabdi pada kepentingan nafsu sendiriYang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiriLoyang disangka emas emasnya di buang buangKita makin buta yang mana utara yang mana selatanYang kecil dibesarkan yang besar di remehkanYang penting disepelekan yang sepele diutamakanAllah Allah betapa busuk hidup kamiDan masih akan membusuk lagiBetapa gelap hari di depanKami mohon ayomilah kami yang kecil ini
SERIBU MASJID SATU JUMLAHNYAOleh : (Cak Nun)SatuMasjid itu dua macamnyaSatu ruh, lainnya badanSatu di atas tanah berdiriLainnya bersemayam di hatiTak boleh hilang salah satunyaaKalau ruh ditindas, masjid hanya batuKalau badan tak didirikan, masjid hanya hantuMasing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamuDuaMasjid selalu dua macamnyaSatu terbuat dari bata dan logamLainnya tak terperiKarena sejatiTigaMasjid batu bataBerdiri di mana-manaMasjid sejati tak menentu tempat tinggalnyaTimbul tenggelam antara ada dan tiadaMungkin di hati kitaDi dalam jiwa, di pusat sukmaMembisikkannama Allah ta’alaKita diajari mengenali-NyaDi dalam masjid batu bataKita melangkah, kemudian bersujudPerlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwaBeriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warnaEmpatSangat mahal biaya masjid badanPadahal temboknya berlumut karena hujanAdapun masjid ruh kita beli dengan ketakjubanTak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkanMasjid badan gmpang binasaMatahari mengelupas warnanyaKetika datang badai, beterbangan gentingnyaOleh gempa ambruk dindingnyaMasjid ruh mengabadiPisau tak sanggup menikamnyaSenapan tak bisa membidiknyaPolitik tak mampu memenjarakannyaLimaMasjid ruh kita bawa ke mana-manaKe sekolah, kantor, pasar dan tamasyaKita bawa naik sepeda, berjejal di bis kotaTanpa seorang pun sanggup mencopetnyaSebab tangan pencuri amatlah pendeknyaSedang masjid ruh di dada adalah cakrawalaCengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnyaSebab majid ruh adalah semesta rayaJika kita berumah di masjid ruhTak kuasa para musuh melihat kitaJika kita terjun memasuki genggaman-NyaMereka menembak hanya bayangan kitaEnamMasjid itu dua macamnyaMasjid badan berdiri kakuTak bisa digenggamTak mungkin kita bawa masuk kuburanAdapun justru masjid ruh yang mengangkat kitaMelampaui ujung waktu nun di sanaTerbang melintasi seribu alam seribu semestaHinggap di keharibaan cinta-NyaTujuhMasjid itu dua macamnyaOrang yang hanya punya masjid pertamaSegera mati sebelum membusuk dagingnyaKarena kiblatnya hanya batu berhalaTetapi mereka yang sombong dengan masjid keduaBerkeliaran sebagai ruh gentayanganTidak memiliki tanah pijakanSehingga kakinya gagal berjalanMaka hanya bagi orang yang waspadaDua masjid menjadi satu jumlahnyaSyariat dan hakikatMenyatu dalam tarikat ke makrifatDelapanBahkan seribu masjid, sjuta masjidNiscaya hanya satu belaka jumlahnyaSebab tujuh samudera gerakan sejarahBergetar dalam satu ukhuwah islamiyahSesekali kita pertengkarkan soal bid’ahAtau jumlah rakaat sebuah shalat sunnahItu sekedar pertengkaran suami istriUntuk memperoleh kemesraan kembaliPara pemimpin saling bercurigaKelompok satu mengafirkan lainnyaItu namanya belajar mendewasakan khilafahSambil menggali penemuan model imamahSembilanSeribu masjid dibangunSeribu lainnya didirikanPesan Allah dijunjung di ubun-ubunTagihan masa depan kita cicilkanSeribu orang mendirikan satu masjid badanKetika peradaban menyerah kepada kebuntuanHadir engkau semua menyodorkan kawruhSeribu masjid tumbuh dalam sejarahBergetar menyatu sejumlah AllahDigenggamnya dunia tidak dengan kekuasaanMelainkan dengan hikmah kepemimpinanAllah itu mustahil kalahSebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwahKepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkahMuadzin kita selalu mengumandangkan Hayya ‘Alal Falah!1987
Sepenggal Puisi Caknun
(Emha Ainun Najib)
sayang sayang kita tak tau kemana pergi
tak sanggup kita dengarkan suara yang sejati
langkah kita mengabdi pada kepentingan nafsu sendiri
yang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiri
loyang disangka emas emasnya di buang buang
kita makin buta yang mana utara yang mana selatan
yang kecil dibesarkan yang besar di remehkan
yang penting disepelekan yang sepele diutamakan
Allah Allah betapa busuk hidup kami
dan masih akan membusuk lagi
betapa gelap hari di depan kami
mohon ayomilah kami yang kecil ini
TAHAJJUD CINTAKUOleh : (Cak Nun)Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikanMahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukanApakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahayaKegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerimaKecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kitaKotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipeliharaKatakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhakaSedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinyaKe mana pun memandang yang tampak ialah kebenaranKebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruangMahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikanSuapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukanTuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cintaKebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya1988
Ditanyakan Kepadanya
(Emha Ainun Najib) 1988
Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri
Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
Tak demikian Allah menata
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta
Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
Tak demikian sunnatullah berkata
Maka cerdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
Menjadi kacaulah sistem alam semesta
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya sapakah penindas
Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan
Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
Burung Allah tak sedia bunuh diri
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapa orang lalai
Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar
Ialah air yang mengalir ke angkasa
Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
Maka berdusta ia
Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
Orang wajib menebangnya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah orang lemah perjuangan
Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
Orang harus menggertak jiwanya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah pedagang penyihir
Ialah kijang kencana berlari di atas air
Orang harus meninggalkannya
Agar tak berdusta ia
Adapun siapakah budak kepentingan pribadi
Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
Agar tak berdusta ia
Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta
Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
Nyanyikan puisi di telinganya
Agar tak berdusta ia
MEMECAH MENGUTUHKANOleh : (Cak Nun)Kerja dan fungsi memecah manusiaSujud sembahyang mengutuhkannyaEgo dan nafsu menumpas kehidupanOleh cinta nyawa dikembalikanLengan tanganmu tanggal sebelahKarena siang hari politik yang gerahDeru mesin ekonomi membekukan tubuhmuCambuk impian membuat jiwamu jadi hantuSuami dan istri tak saling mengabdiTak mengalahkan atau memenangiKeduanya adalah sahabat bergandengan tanganBersama-sama mengarungi jejeakTuhan Kalau berpcu mempersaingkan hari esokJangan lupakan cinta di kandungan cakrawalaKalau cemas karena diiming-imingi tetanggaBerkacalah pada sunyi di gua garba rahasia1987
Begitu Engkau Bersujud
(Emha Ainun Najib) 1987
Begitu engkau bersujud, terbangunlah ruang
yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
pula telah engkau dirikan masjid
Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
telah kau bengun selama hidupmu?
Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
meninggi, menembus langit, memasuki alam makrifat
Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara adzan
Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
Allah, engkaulah kiblat
Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
didengar Allah, engkaulah tilawah suci
Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
Allah, engkaulah ayatullah
Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
menjadilah engkau masjid
Antara Tiga Kota(Emha Ainun Najib) Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO, 1997di yogya aku lelap tertidurangin di sisiku mendengkurseluruh kota pun bagai dalam kuburpohon-pohon semua mengantukdi sini kamu harus belajar berlatihtetap hidup sambil mengantukkemanakah harus kuhadapkan mukaagar seimbang antara tidur dan jaga ?Jakarta menghardik nasibkumelecut menghantam pundakkutiada ruang bagi diamkumatahari memelototikubising suaranya mencampakkankujatuh bergelut debukemanakah harus juhadapkan mukaagar seimbang antara tidur dan jagasurabaya seperti ditengahnyatak tidur seperti kerbau tuatak juga membelalakkan matatetapi di sana ada kasihkuyang hilang kembangnyajika aku mendekatinyakemanakah haru kuhadapkan mukaagar seimbang antara tidur dan jaga ?
NOCTURNO
(Emha Ainun Najib) 1975
Tuhan si anak kenangan berbaring di cakrawala selatan
Tuhan si anak kenangan berloncatan di atas bintang-bintang
Tuhan si anak kenangan berebut masuk keluar pernapasan
Tuhan si anak kenangan tak meleleh di pucuk dendam
Tuhan si anak kenangan terjatuh!
: dalam bayang bayang
Selamat malam!
O, si buah angan
Selamat malam!
O, si Anak Hilang!
Sajak Jatuh Cinta(Emha Ainun Najib) 1975Karena ini bungaMaka ciumlah dengan bening jiwaKarena ini sajakMaka terimalah dengan mripat kanak-kanakGugusan mendung yang ranumMenggugurkan hujan ke bumiDari langit jauh Engkau bagai telah turunPada air, tanah, serta pada sunyiKemudian senyap sesaatTuhan melintaskan syafaatKemudian daun-daun bersijingkatDalam pesona memikatKarena ini bunga, dikMaka ciumlah dengan bening jiwaKarena ini sajak, dikMaka terimalah dengan mripat kanak-kanak
Lagu
(Emha Ainun Najib) 1975
Sangatlah nyaman
Serta penuh kekhusyukan
Bersahabat dengan angin
Dan matahari pagi
Wajah gadisku yang membayang
Mengajakku sejenak berpejam
Tunduk kepala, dan
Menggumamkan salam
Dan embun menguap
Setelah semalaman
bagai peristiwa cinta
Membungkus dedaunan lelap
O, biru langit!
O, bukit-bukit!
Saksikanlah bahwa merdeka
Sangatlah mengikat
Bahwa jiwa
Butuh saat-saat alpa
Di mana roh diguncang
Tercampak dari tanya dan pikiran
Gadisku! Wahai gadisku!
Sangatlah nyaman
Bersetia kasih dengan Alam
Dan di bawah Iman-Nya: kita tenggelam
Sajak(Emha Ainun Najib) 1975Oleh: Emha Ainun NajibDemi rembulan yang Engkau ciptakanKhusus untuk memulangkan dirikuKepada kumandang tangis bayi, yang telanjangYang hening lagunya bergaungKe ladang-ladang jiwaYang meripatnya beningDan yang semua geraknyaDibimbingOleh kegaibanDemi rembulan di larut malamYang bagai kereta kencanaDitarik oleh kuda silumanYang bangkit dari cakrawalaYang bangkit begitu sajaBerderapPerlahanDan menciptakan gemuruhDalam kediamanDemi rembulan yang Engkau ciptakanUntuk mengusap kening jiwa yang berabad menangisJiwa AdamRintih kerinduanYang mencegatnya di ujung jalanDan yang mencegatku kiniDalam derita dan keasinganYang terus menjelmaYang mengawali setiap pekik kelahiranDan yang terus berkembang dalam kenanganDemi rembulan yang bagai pejalan sunyiMenjelajah seluruh malamSehingga terciptalah dunia dan kehidupanDari angin, embun dan dedaunanYang berkilatKarena cahayanyaYang seakan mengisyaratkan harapanBagi kerinduanku nantinyaAh, Tuhan!Demi rembulan yang Engkau ciptakanBuat menggoda!Di semak-semak iniDi hutan gelap yang terciptaDalam gaung jiwaDalam gelegak samuderaDalam gelegak darahkuYang letihDan mayakutikamkan pisau ini ke dadaku!(terimalah semangatku reguklah cintaku!)
Apakah Puisi-puisi Ini
(Emha Ainun Najib) Yogya 1977
Apakah puisi-puisi ini
Jelmaan roh-Mu, Tuhanku
Sehingga aku merasa bahagia
Jika bergaul dengannya
Ia selalu membuka ruang
Hingga aku setia pada kemungkinan
Ia adalah sembahyang
Yang penuh kemerdekaan
Tuhan, di antara sekian cara hidup
Agama dan peraturan-peraturan
Puisi memberi keikhlasan
Kepada apa pun yang Kaulakukan
Prambanan(Emha Ainun Najib) 1977Kenapa aku tak bisa diam sepertimuDiam pada anginPada hujan, pada linduDan langit yang semuApa benar hidup lebih baikDari yang disebut matiSeperti lukisan air mukamuSeperti sikap diammuHidup ini besar ongkosnyaSedang kita terus berlari keras dan gilaMengejar-ngejar apaTak ketemu juaKenapa aku tak bisa diam sepertimuDiam pada angin, langit, Tuhan ¡
Didepan Patung Budha
(Emha Ainun Najib) Borobudur 1977
Kau ada
Aku pun ada
Tapi kau bahagia
Aku tidak
Apa kerna ada nyawa
Maka tak bahagia
Sedang dengan nyawa
Orang ingin bahagia
Kukira salah mulanya
Adam dilempar dari surga
Mengapa harus kembali ke sana
Mengapa tak ke Tiada
Aku Ini Termasuk Orang Yang Sukar Berbahagia(Emha Ainun Najib) Yogya 1977Aku ini termasuk orang yang sukar berbahagiaSebab makin banyak memandang adegan kehidupanMakin bertumpuk pula pertanyaan kepada TuhanHidup ini ruwet seperti lingkaran setanSeperti perang brubuh yang tak bisa diuraikanSerta penuh benturan yang seperti sengaja diciptakanAh, tetapi mudah saja jika Tuhan mau mengubah semuanyaAtau menghapusnya lantas menciptakan lagi duniaYang sedikit agak bermutu, terhormat dan muliaTetapi kukira itu tak mungkin terlaksanaSebab siapa tahu Tuhan merasa asyik dengan kekonyolan kitaDan agar tak kehilangan permainan: kita terus saja dipelihara
Kosong
(Emha Ainun Najib) Salatiga 1977
Kenapakah kadang-kadang
Demikian kosong hidup ini, Tuhanku
Segala keramaian di sekelilingku
Lalu lalang pikiran dan hasrat kehidupan
Yang menggoreskan seribu warna peradaban
Segala apa pun yang dikurung langit-Mu
Segala apa pun yang di bilikku
Telapak tanganku yang tiba-tiba kuamati
Bahkan wajahku yang dipantulkan oleh cermin ini
Kurasakan amat kosong dan sunyi
Tetapi di dalam dadaku
Tetapi di dalam jiwaku
Ada bergaung suara-suara
Ada tekanan-tekanan yang asing rasanya
Seperti jeritan
Seperti teriakan dalam diam
Seperti diam dalam teriakan
Seperti dendam
Seperti kerinduan
Atau pusaran permainan
Yang tak bisa aku hindarkan
Tuhanku, apakah perasaan yang semacam ini juga
Yang mendorong-Mu untuk menciptakan manusia
Dan semesta yang fana?
Takut Pada Matamu(Emha Ainun Najib) Surabaya 1977Kekagumanku kepada TuhanMembuat aku takut pada matamuApakah engkau sendiri mengerti, kekasihkuApa gerangan yang memancar dari matamu itu?Bertahun-tahun kita hanya berpandangan sajaEngkau bisuDan aku tuliKarena sangat tidak mengertiBola matamu yang beningAdalah ruang yang tiada terbatasTetapi jika pun engkau kelak menjadi wanitakuAkan bisakah kumasuki ruang itu?
Dari Bukit Kotamu
(Emha Ainun Najib) Bandung 1977
sekali waktu ingin kuajak engkau kemari, kasihku
untuk melihat lampu-lampu kotamu yang berdebu
berdiri di sini bagai berada di luar kehidupan
jika kita bergoyang-goyang ditimang tangan Tuhan
apa salahnya beberapa saat kita istirah
pasrah diri kepada kelam yang jauh
apa salahnya sejenak alpa pada luka yang dalam
dan hati yang robek di dalam pergulatan
sekali waktu ingin kuajak kau bersandar di pohon ini, kasihku
untuk menghela napas panjang, melepas keletihan
meredakan segenap dendam, meniti masa silam
dan bersiap, melayani hari-hari esok yang panjang
Sajak Orang Tua Seribu(Emha Ainun Najib) 1982Bapakku satuIbuku satuOrang tuaku seribuYang satu ngajari sembahyangLainnya nyuruh edanYang satu ngasih kitab Qur’anLainnya menyodorkan minumanYang satu berkhotbah kebaikanLainnya mendorong ganggu istri orangLainnya lagi penuh kebajikanSekaligus bajinganLangit muntahHujan tumpahMancur ke tenggorokan bumiMembanjirkan sampah kotoranDari selokan dan kali-kaliBapakku satuIbuku satuOrang tuaku misteriHiruk pikuk yang sunyiSatu wajahGanti beribu kaliIbu hamil karena TuhanLahir aku tercampak di air pasangYang bergerak menyeret tanpa ampunanYeaahh!Kini ambil putusanSi Diam bergerak ke sebaliknyaBalikkan badanCuri ruang di antara ruangSang Maha Gunung terletak sumbernyaSampai darah kering kutatap ia!
Kabut
(Emha Ainun Najib)
Selalu kaupanggil-panggil namaku
Aku mengangguk dan tersenyum kepadamu
Tapi sebenarnya kabutlah
Yang kaupanggil itu
Kauseret tubuhku, kaubawa ke perjalanan
Kau perkenalkan kepada setiap orang
Kabut pun menebal, diriku tersembunyikan
Tak kauingatkan sudah berapa topeng
Yang kautempelkan di wajahku?
Jadi engkau sendirilah ini, bukan aku
Tetangga, politik, dan persangkaan
Nafsu, idolatri, dan kepentingan
Mengepulkan debu, mengabuti sejatiku
Kita semua adalah Tuhan yang menyamar
Menyiksa diri dengan sejarah yang samar-samar
Kalau tak juga kautanggalkan topeng-topeng ini
Kepalsuan kita panggul sampai mati
Diatas Crete(Emha Ainun Najib) 1984Jauh di atas kepulauan Crete, pesawat sayamenggerunjal, seperti sedang melewati jalanandi kampungku yang penuh lobang dan batu-batuPilot pemandu hidup memberi peringatan tentangcuaca amat buruk, hingga kami harus menegakkantempat duduk dan pasang sabuk, kemudian dianjurkanuntuk berdoaPara penumpang langsung bermuka mendung, para suamiistri dan pasangan kekasih pada berpegangan tangan,semua tiba-tiba ingat Tuhan dan tampil di hadapan-Nyasebagai pengemis-pengemis yang malangSupaya tidak mengganggu lingkungan saya pun menundukkhusyu, sambil kupandangi jiwa saya yang tertawa legabagaikan menerima lotereTerima kasih, terima kasih, Tuhan katanya Sayatidak ingin menitipkan onggokan daging busuk inikepada siapa pun. Kalau Engkau berkenan, biarlahsampah hina yang duduk cemas di kursi ini segerasaja sirna, agar saya pun merdeka!Tapi tak lama kemudian jiwa saya itu pun ngambegkarena segera ada pengumuman tentang yang disebutkeselamatan, dan daging-daging bau itu pun menariknafas lega, sambil bersiap turun, berjejal-jejalmemenuhi tong-tong sampah yang bertebaran di atas dunia
Pesawat Terbang
(Emha Ainun Najib) 1984
Pertama kali naik pesawat terbang, saya ingin
memasang iklan di koran nasional bahwa saya
benar-benar sudah pernah naik burung ajaib
yang dikagumi oleh seluruh kanak-kanak
dan orang dewasa
Kali kedua pengin dishoot kamera betapa saya
memasang seat-belt segampang menelan ludah
kemudian dengan lincah menggoda stewardesses
Yang ketiga saya berpikir menelusuri dari modal siapa
gerangan pesawat mewah ini dibikin, bagaimana
modal itu diputar di meja perjudian
ekonomi politik internasional, serta membayangkan
siapa saja, yang bisa menikmatinya
Namun toh pada kali keempat saya masih saja sedikit
mengagumi otak manusia penemu daya sihir
burung-burung, meskipun kemudian bosan
dan tidur kepala berat
Sehingga tatkala terbang kelima, keenam, ketujuh kali,
di samping selalu disergap oleh ratusan
pikiran murung: saya merasa pesawat terbang
tak pernah membawa saya naik ke mana-mana
Ada kemungkinan para teknolog, teknokrat serta
para pemakai mereka, gagal melihat mana bawah
yang sebenarnya dan mana atas yang sesungguhnya
Makan dan Minum 1(Emha Ainun Najib) 1984Selalu jiwa saya bertanya kenapa tiap hariorang mesti makan dan minumSaya bilang itu merupakan syarat agar merekabisa berak dan kencingKalau yang orang maui, kata jiwa saya, hanyabuang air baik besar maupun kecilKenapa makanan dan minuman dibikin bermacam-macam,bertingkat-tingkat serta berhias-hiasSaya bilang karena mereka tak bisa tentukankualitas berak, hiasan tinja atau bau harum kencingKalau begitu, kata jiwa saya lagi, segeramendekatlah padaku, agar tak terlalulama engkau dikungkung oleh tujuan hidupberak dan kencing
Makan dan Minum 6
(Emha Ainun Najib) 1984
Pada mulanya, kata jiwa saya, orang pergi
berburu binatang, menombak rusa atau
memanah burung-burung
Akhirnya hewan menipis jumlahnya dan hutan
hanya dipenuhi manusia, maka orang menembak orang
orang menggusur orang,
orang menembak orang
Sesampainya di dapur, mereka bikin sate
beramai-ramai
Yang kutangisi, kata jiwa saya lagi, bahwa
sesudah makan dan minum seratus kali
lipat dari kapasitas perutnya, para pemenggal,
penggusur dan penembak itu tidak menjadi kenyang,
melainkan justru semakin lapar
Syair Maling(Emha Ainun Najib) 1983Perjuangan utama sebuah syair, hanyalahUntuk tak menjadi sloganAtau kembang plastikDari Tuhan lahir seorang bayiDituding sebagai subversi, atau dipupukMenjadi hostes para priyayiSyair-syair diagung-agungkanHingga menjadi barang kerajinanYang menggelikanCukuplah ia kata seorang temanLahir dari anginTapi sahabat lagi mengklaimSyair ialah berakBerak nasibOrang-orang terpilinMaka kita bertengkarBuntu dan gagapDari hari ke hariSambil membiarkan maling-maling
Sesobek Buku Harian Indonesia
(Emha Ainun Najib) Yogya, 13 Maret 1982
Melihat pentas-pentas drama di negeriku
berjudul Pesta Darah di Jember
Menyerbu Negeri Hantu Putih di Solo
Klaten, Semarang, Surabaya dan Medan
Teror atas Gardu Pengaman Rakyat di Bandung
Woyla.
Ah, ingat ke hari kemarin
pentas sandiwara rakyat
yang berjudul Komando Jihad
Ingat Malari.
Ingat beratus pentas drama
yang naskahnya tak ketahuan
dan mata kita yang telanjang
dengan gampang dikelabui dan dijerumuskan
Ah, drama-drama total
yang tanpa panggung
melainkan berlangsung di atas hamparan
kepala-kepala penonton
Darah mengucur, kembang kematian.
Bau busuk air liur para sutradara licik
yang bersembunyi di hati mulia para rakyat.
Drama peradaban yang bermain nyawa
mencumbu kemanusiaan
berkelakar secara rendahan kepada Tuhan
Kita orang-orang yang amat lugu dan tak tahu
Pikiran disetir
Hidung dicocok dan disemprot parfum
Pantat disodok dan kita meringkik-ringkik
tanpa ada maknanya
Kita yang terlalu polos dan pemaaf
beriuh rendah di antara kita sendiri
bagai anak-anak kecil yang sibuk dikasih petasan
kemudian tertidur lelap
sesudah disuapi sepotong kue bolu dan permen karet
Ah, milik siapa tanah ini
Milik siapa hutan-hutan yang ditebang
Pasir timah dan kayu yang secara resmi diseludupkan
Milik siapa tambang-tambang
keputusan buat masa depan
Milik siapa tabungan alam
yang kini diboroskan habis-habisan
Milik siapa perubahan-perubahan
kepentingan dari surat-surat keputusan
Kita ini sendiri
milik siapa gerangan.
Pernahkan kita sedikit saja memiliki
lebih dari sekedar dimiliki, dan dimiliki.
Pernahkan kita sedikit saja menentukan
lebih dari sekedar ditentukan, dan ditentukan.
Yogyaku(Emha Ainun Najib) 1984Candradimuka hanya kawah panas seribu panastapi Yogyaku apimu membekukan dinginmu memanggangDi kawah aku mengolah baja namun engkaumenantang keabadianku di antara pijar matahari danmalaikat saljuDi pelukanmu ngantuk aku tapi jika kudengardetak jantung rahasiamu kuperoleh Tidur yang sebenarnyaTidur abadi, sunyi segala sunyi, terkatup mulutmukarena tahu sang Sutradara hanya menorehkan sepiYogyaku senyumanmu linuhung di belakangpunggung beribu orang yang mengigau pernah ketemu danbercakap-cakap denganmuAnak-anak kecil yang menghiasimu dengan beratusgelar, menabur janji, menancapkan papan-papan ikrardan menyuratkan buih-buih mimpi yang terbengkalaiKata-kata macet di tengah pidato silang tindih,nilai-nilai undur diri kepadamu di tengah program bingungdan gerak yang serba rancu, ruh anak-anakmu terguncangoleh kendaraan-kendaraan yang kesurupan di atasdanau-danau jalan rayamuKemudian sekian ratus di antara mereka,mati rahasia, dan engkau tahu persis jumlahnya tanpa merakapernah kepadamu membukakannyaYogyaku senyuman linuhungmu mengurung bagaihamparan langit yang mahasabar, Yogyaku engkaumemaafkan para pelacur dan maling di jalan dan di singgasanaDi jalan, di gang-gang sempit, engkau menanam janjisunyi, di singgasana engkau menaruh rasa iba hati, karena jikaengkau dijual untuk sepiring nasi, sesungguhnya engkau takkan pernah bisa digadaikan atau dicuriYogyaku engkau diangkut dari sungai masa silamdengan truk hari depan, Yogyaku engkau direbut dari masadatang dan tergesa dilempar ke museum ke alam abad silam,waktu tak di dalam ruang, juga tak di luarnya,tak di sela garis batasnya
Belajar Tidak
(Emha Ainun Najib) Yogya, 10 Juni 1982
Ajari kami
membedakan ya dan tidak
tanpa embel-embel
Tuntunlah kami
bilang ya dan bilang tidak
tanpa hitung untung
Tenaga apa bisa kami pakai
untuk bilang ya
bagi setiap ya
untuk bilang tidak
bagi setiap tidak
Apa mesti pakai sukma Tuhan
untuk bisa tahan
tuding tidak pada tidak
karena tidak
ialah tidak
Udara sarat tidak
tiap hari sibuk tidak
tetapi sebab dicekik ya
terpaksa bilang ya
Mata siapa bisa kami pinjam
untuk melihat benar kehidupan
untuk menangkap setiap murni getaran
Tangan siapa bisa kami ulurkan
untuk menggenggam air bah kenyataan
Mau nimba ke mana
Belajar kepada apa
Berguru ke siapa
Ilmukah atau batu
Anginkah atau guru
Langitkah atau suhu
Mataharikah atau waktu
Rohkah atau langit biru
Pohonkah atau buku
Gunungkah atau para biksu
Pedang-pedangkah
atau primbon masa lalu
Lautan katakah
atau Allah yang bisu
Sejuta ilmu
lupa pada yang sederhana
Hidup teramat lama
untuk tak bisa ngomong tidak
Hidup terlalu sumpeg
untuk selalu tak bilang tidak
Waktu terentang panjang
bisa tampung berjuta tidak
Irama begini sesak
untuk bilang satu saja tidak
Dinding amat tebal
Ruang terbagi-bagi
Bagian-bagian terbagi-bagi
tanpa pintu
Angin membusuk
Pikiran meracuni jiwa
Sukma tertidur
takut ngerti sampai di mana
Kata tidak menumpuk
di sel-sel penjara
di butir-butir darah
nyangkut di mata merah
Ya sering nampak sebagai tidak
Tidak sering seperti ya
Ya seakan-akan tidak
Tidak seolah-olah ya
Ada ya yang ketidak-tidakkan
Ada tidak yang keya-yaan
Ya biasa disulap jadi tidak
Tidak dianggap sebagai ya
Orang ya terpaksa bilang tidak
Orang tidak terpaksa bilang ya
Segala ya jadi kuasa
Bikin setiap tidak jadi ya
Asal kami bilang ya
Soal jadi tak ada
Tapi jika bilang tidak
Hari esok bisa binasa
Hukum jadi samar
Benar jadi omong besar
Merdeka jadi patung-patung
Kami inginkan ya yang lugas
Tidak yang tegas
Tapi siapakah guru kami?
Para guru sangat pandai
mengajarkan upaya
Pemimpin kami amat pintar
membendung segala tidak
dari mulut kami
yang dibilang pengkhianat
Beribu nilai tersedia
Namun kami hanya dipilihkan
Oleh suatu rangka dan susunan keadaan
Kami dikepung dan dikendalikan
Kiranya guru kami ialah
kata tidak itu sendiri
Tidak
Beratus-ratus tidak
Beribu-ribu tidak
Berjuta-juta tidak
Kami ucapkan
tiap pagi
siang, sore
dan malam harinya
sampai bersiap merdeka
atau gila.
Syair Candu 1(Emha Ainun Najib) 1985kalau kamu bilang agama itu candudengarkan allah-lah candu hidupkutuak cinta maha membeningkan pikiranmelempangkan yang sebenar-benarnya jalanjika sukmaku meminumnyabadan tegak dan jiwa perkasamenyingkir rasa takut dan kesedihansehingga takkan kubatalkan pemberontakanpara peminum kesejatiansanggup keluar dari setiap barisanyang menghardik utuhnya kemanusiaanmeski ditemani oleh hanya sunyi dan kelaparankamu takkan tahu bau napasnya begitu merangsangmenyisihkan segala yang tampak menggiurkanmenjelaskan betapa remehnya godaanserta apa pun saja yang seolah dan seakan-akankalau kamu bilang agama itu candukuperdengarkan allah dan tak ada yang selain itufirmannya merasuki darah bagai arak sucikusandang untuk menyibak zaman ini
Syair Candu 5
(Emha Ainun Najib) 1985
paduka kenyataan hamba
paduka juga impian hamba
luka parah hamba memburunya
semesta rahasia
tak terhingga jumlah pintunya
sehingga realitas terus bekerja
kenyataan tak bisa distop langkahnya
sebab terangkai oleh kemungkinan
yang tak tertangkap oleh kata benda
paduka aduk mitos kenyataan
padaka tertawakan kenyataan mitos
ketika orang membeku di salah satunya
maka terimalah hamba
ikut berdenyut di jantung paduka
mengembarai hakikat yang betapa anehnya
Hijrah(Emha Ainun Najib) 1985mimpiku pawai burungtanpa sayap terbang ke surgamimpiku mata rabunnyangkut di langit hampainsyaallah angan-angan inidisetujui oleh para nabitapi jarang kutelititeori mereka mengolah bumikemudian tiba ke khomeinymarx, fraire, dan ali syari’atimadrasah frankfurt, ngo pinggir kaliberperang brubuh di rumah sinidi wajah beberapa kawannama-nama itu menjelma silumanketika tangan mereka acungkanterciptalah mesin percetakanaku jatuh terjengkangtolol di pojok jalanhanya sanggup berpamitanhijrah ke semesta pengembaraan
Ambil Si Penari Untukku Tariannya
(Emha Ainun Najib) 1987
Dzu Walayah membawaku mengembara.
Telah berulangkali kukunjungi tempat-tempat itu,
namun bersamanya menjadi berubah cara berjalanku serta menjelma baru mata-pandangku.
Kuajukan kepadanya beribu-ribu pertanyaan seperti Ibrahim menggalah beribu-ribu bintang, kureguk jawaban-jawabannya yang mesra bagai anak kambing menyusu puting induknya.
Namun, tentang satu hal, Dzu Walayah selalu menghindar, ialah tentang wihdatul wujud, Allah dengan hambaNya manunggal.
Tatkala kami duduk-duduk istirah di tepian pantai, ia meminta Ambil seciduk dua ciduk air samudera untukmu, sisakan ombaknya berikan kepadaku.
Ketika di malam hari aku merasa kedinginan oleh hembusan angin yang amat kencang, ia lepaskan kain sarungnya dan berkata Pakailah ini untuk selimutmu, tapi helai-helai benangnya biarlah untukku.
Dan ketika di lapangan pojok dusun itu bersama-sama kami menyaksikan acara tayuban yang riuh rendah oleh musik, teriakan dan birahi, Dzu Walayah menggamit pundakku Pergilah ambil penari itu untukmu, tapi terlebih dahulu berikan kepadaku tariannya.
Tuhan Sudah Sangat Populer(Emha Ainun Najib) 1987SatuTuhan sudah sangat populerNama-Nya dihapal luar kepalaSehingga amat jarang adaOrang yang sungguh-sungguh mengingat-NyaTuhan sudah sangat populerSeperti matahari tak pernah tak bercahayaSehingga hanya kadang-kadang sajaOrang menyadari ada dan peran-NyaTuhan sudah sangat populerBaik di kota maupun di desaKalau terasa tak ada, orang menanyakan-NyaKetika jelas, ada orang melupakan-Nya
Ajari Aku Tidur
(Emha Ainun Najib) 1986
tuhan sayang ajari aku tidur
seperti dulu menemuimu di rahim ibu
sesudah lahir menjadi anak kehidupan
sesudah didera tatakrama, pendidikan, politik
dan kebodohan
bisaku cuma tertidur
tertidur
tuhan sayang tak kurang-kurang engkau menghibur
tapi setiap kali badan terbujur ruhku bangkit
memekik-mekik!
hidupku jadi ngantuk, luar biasa ngantuk
tanpa pernah bisa sungguh-sungguh tidur
di siang dunia berseliweran kecemasan
orang-orang berburu prasangka
menumpuk salah paham terhadap kehidupan
memburu dugaan, bersandar pada bayangan
mengulum batu-batu akik, aku ngantuk
sungguh-sungguh ngantuk
di malam segala nina bobo yang menenggelamkan
tak mampu kubaringkan mati kecilku
ajari mati, ya tuhan sayang, ajari aku mati
nasib sejarah menggumpal di jantungku
jantung mengerjat-ngerjat
tapi tak pingsan
telah beribu kali
jantung meledak tak mati-mati
tuhan sayang, ya tuhan sayang
rinduku amat tua
dan sakit
Membelah Diri(Emha Ainun Najib) 1986sayang, kenapa harus membelah dirikalau sampai begini sakituntuk menyatu kembalimerekah engkau jadi kitajadi tuan dan hambapanjang jarak tak terkirasayang, o sayangjangan bilang sekedar satu dua harijangan katakan hanya sebatas mataharisebab bergulat harus sedemikian nyerijatuh bangun mencaritertunda-tunda ketemu diri sendiri
Menertawakan Diri Sendiri
(Emha Ainun Najib) 1985
Bermakna lebih dari segala ilmu
Ialah menertawakan diri sendiri
Sesudah kegagahan dipacu
Tahu langkah tak sedalam tangis bayi
Kelahiran dan maut memain-mainkan
Kita jadi perlu sekeras ini bersitegang
Padahal gua Ibunda tak di masa silam
Dan kematian tak nunggu di usia petang
Nyembah puisi, buku dikeloni, sejarah dibongkar
Kemudian sumpeg dan ngerti kita terbongkar sendiri
Maka laron tahu usia tak sampai semalam
Maka kita pilih saat wajah sendiri dilecehkan
Membantu malaikat ngerjakan tugas dari Ki Dalang
Melakonkan cilukba wayang pergantian siang malam
Heran kenapa Chairil minta cuma seribu tahun lagi
Padahal jelas jatah kita abadi
Tidur Hanya Bisa Pada Mu(Emha Ainun Najib) 1986Tidur hanya bisa padaMuKetika larut badan tak mengadaSudah khatam segala tangis rinduTinggal jiwa kusut dan sebuah laguJiwa terajah lukaBersujud sepanjang masaDi peradaban yang sakit jiwaHanya bisa kupeluk guling rahasiaTidar hanya bisa padaMuYa kekasih, tidur hanya bisa padaMuKalau tak kau eluskan tanganBangunku tetap jua ke duniaSejak semula telah kuikrarkanCuma engkau sajalah yang kudambakanDengan sangat kumohonkan tidur abadiAgar kumasuki bangun yang sejati
Demikianlah artikel tentang kumpulan puisi cak nun terbaru. semoga bisa bermanfaat untuk Anda semuanya. Sekian dan Terima Kasih
Pencarian Terbaru:
- puisi cak nun tentang tuhan
- puisi cak nun tentang indonesia
- puisi cak nun bahasa jawa
- puisi cak nun aku seorang gelandangan
- puisi cak nun masjid
- puisi cak nun tentang kematian
- puisi cak nun tahajjud cintaku
- download video puisi cak nun